Langsung ke konten utama

Esai_Gelar Penyair


Gelar Penyair

Radar Malang-Minggu, 19 Mei 2019


Puisi adalah sebuah hasil karya tulis yang tergolong dalam jenis karya sastra. Arti dari sastra sendiri dalam KBBI adalah bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai di kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari). Namun definisi tersebut tidak bisa dijadikan acuan dalam memaknai karya sastra secara lebih luas. Bisa jadi sastra adalah bahan yang digunakan oleh seseorang dalam menyampaikan pesan dengan indah, dan non eksplisit. Karena poin penting dari sastra adalah gaya bahasa yang digunakan, bagaimanapun seorang penulis puisi bisa disebut penyair adalah karena bahasa dalam puisinya, namun akan saya uraikan secara lebih jelas dan  rinci di bawah.
“Konon puisi adalah mahkota bahasa. Puisi adalah hasil yang dicapai jika seseorang mampu bermain-main dengan bahasanya.” (Sapardi, 2016:3). Dalam hal ini Sapardi menggaris-besarkan pada permainan bahasa. Bahasa dalam karya sastra, dalam hal ini puisi, haruslah memiliki ciri khas yang bisa membedakan puisi dengan karya sastra lainnya. Lebih dari itu, permainan bahasa juga diperlukan guna memperindah karya puisi dan memberi kesan yang baik bagi para pembaca, meskipun dengan hal itu bisa membuat multi-interpretasi atau bahkan membuat pembaca gagal faham dalam menangkap pesan yang disampaikan penyair.
Menurut Sutardji Calzoum Bahri, menjadi penyair cukup dengan menulis puisi. Tak peduli puisinya terbit di media atau tidak, masuk buku antologi atau tidak, itu bukan faktor yang penting dalam kepenyairan, menurutnya menulis puisi cukup untuk seseorang disebut penyair. Pendapat Sutardji  di atas menurut saya benar, jika dalam hal ini hanya memberikan “sebutan” bagi penulis puisi. Tapi jika dalam konteks memberi “gelar” penyair kepada penulis puisi, saya kurang setuju.
Lebih dari cara penyebutan penyair menurut Sutardji, memberi gelar tak sama dengan memberi sebutan. Seseorang bisa saja disebut penyair hanya dengan menulis puisi, tapi jika berbicara mengenai gelar penyair, maka tidak akan semudah itu. Penyair seperti namanya berarti orang yang bersyair/berpuisi. Berpuisi/bersyair memiliki makna yang luas, seseorang yang membaca puisi, seseorang yang menulis puisi, seseorang yang mengapresiasi puisi, semuanya termasuk kegiatan berpuisi. Tapi seperti yang saya tuturkan sebelumnya, hal yang demikian itu belum bisa menjadikan seseorang yang bersyair diberi gelar penyair. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana penyair mendapatkan gelar penyair? Faktor apa saja yang membuat seseorang diberi gelar penyair? Mari kita bahas.
Berpuisi, lebih dari arti sempitnya adalah kegiatan memuisikan puisi. Dalam pandangan saya gelar penyair diberikan kepada orang yang memberikan seluruh jiwanya dalam puisi. Bagaimana saat ia menulis puisi, hal apa yang ia tulis dalam puisi, bagaimana cara menyikapi situasi di sekitarnya dalam puisi, seberapa produktif ia dalam menulis puisi dan bagaimana ia menjadikan puisi sebagai sarana sosial, dan juga bagaimana si penulis puisi memberikan pesan dan kesan pada pembaca melalui puisi. Faktor-faktor tersebutlah yang menjadikan seorang penulis puisi (siapapun itu) bisa diberi gelar penyair. Namun demikian, tentu gelar tersebut tidak diberikan oleh si penulis itu sendiri walaupun, dia merasa bahwa faktor-faktor di atas sudah ia miliki. Butuh opini banyak orang, tanggapan serta anggapan bahwa ia sudah mendapatkan gelar penyair setelah orang tersebut membaca banyak karya si penulis puisi terebut.
Selain itu, ada hal lain yang mesti diperhatikan. Memang prosesnya sangat ribet dan panjang. Tapi seorang penyair adalah orang yang mampu melewati proses itu. Hal tersebut adalah, puisinya bisa terbit di media, apa pun jenisnya. Entah itu buku, koran, majalah bahkan media online. Karena, pasti, sebuah puisi yang terbit di media adalah hasil karya yang bukan asal-asalan, dan ngaco. Tentu penuh dinamika, proses dan juga usaha yang keras. Dan merupakan bukti suksesnya karir kepenyairannya. Tapi itu bukan patokan loh ya. Selagi puisi itu bagus dan memenuhi faktor-faktor yang ada di atas tadi, dan karyanya bisa diterima oleh khalayak dan tanggapan serta anggapan pembaca adalah positif, bisa dikatakan penulis puisi itu sudah mendapatkan gelar penyair.

Komentar

Populer

Puisi -puisi Imam Khoironi di Radar Malang

Edisi Minggu, 7 Juli 2019 Menunggu Kepulangan Ayah hari sudah hampir penuh dengan peluh dan lelah membasahi tiap-tiap doaku, saat melangkah menuju surau yang jaraknya melaju ke ujung kesunyian dan kau pun belum juga ingat waktu dan masih mencangkuli ladang citaku setelah matahari mengucapkan sampai jumpa dengan pepohonan dan bulan menyampaikan selamat jalan pada dunia yang ramai di desa kau baru ingat kalau rumah ini punya dunianya sendiri dan juga butuh apimu Lampung, Juni 2019 Menunggu Ibu Pulang tak seperti waktu yang biasa mengalir di sela-sela jemarimu kepergianmu yang berselamat pagi pada embun itu tak pernah mendapat sambutan cahaya pagi lembar demi lembar rindu terus menumpuk, tumbuh dari daun-daun kasihmu yang perlahan gugur di taman surga waktu yang tak kunjung menemui buntu sedangkan kepulanganmu selalu kutunggu di taman yang embun itu menetes dari bunga askh yang tak bisa mengharumi rumah kita Lampung, ...

Puisi Imam Khoironi | Bali Pos

Sumpah Seorang Pemuda Kepada Ibunya Ibu. Aku bersumpah demi yang lebih tinggi Dari bendera dan   apa saja Tanahmu, akan kujadikan tempat kuburku Meredam panas darahku Ibu. Aku bersumpah demi penguasa kehendak Dan kehendak itu sendiri Nasibku biar jadi misteri Semoga menjadi jati diri Ibu. Aku bersumpah demi penyair paling merdeka Dan paling berkuasa di jaga raya Puisi ini kutulis tanpa bahasa apa-apa Kecuali ini bahasamu, Ibu. Way Halim, 28 Oktober 2019 Menggambar Pohon Bagi kami: Yang membalut napas dengan debu kering tanah lapang Retak dan merekah seperti bunga di pertengahan musim semi Serta tidak lupa mengantar doa menuju langit melalui lampion-lampion Juga mantra-mantra yang tak lagi kudus Mencari jalan setapak untuk menemui roh Yang coba menembus langit membincangkan Pengadilan dunia pada Tuhan Ketahuilah: Akar-akar rumput sudah menembus batu Dan pohon dengan daun-daun hijau hanya ada Pada buku mewarnai ...

Puisi Imam Khoironi_Bangka Pos Edisi 8 September 2019

Mendengarkan Ricik air terbenam di wadah-wadah mendung Suaranya serupa semilir angin Menepuk daun jati yang gugur Di muka kemarau Takdir memelukku erat Hingga biduk yang kunanti tiba Aku hanya mendengarkan suara gerimis Lampung, Juli 2019 Senandung Maka beri tahu aku Ihwal lagu itu Di kalbumu senyap saja Tampak tubuhmu tak lagi menyanyi Sampai senja menelan apa saja Yang berderap di muka kota Aku tak lagi mendengar angin Yang dahulu bersemayam di lagumu Lampung, Juli 2019 Angin dan Pohon /I/ Namun sampai bila juga Hatiku akan menjemput keniscayaan Di dalam ruh yang bertebaran Kutahu angin membawa namamu Bayangmu pasti kerlip bintang, Atau teka-teki tentang pelangi Akankah ia muncul bersama gerimis Yang melambai pada berkas cahaya? /II/ Lalu sampailah kita Tanpa pertanyaan dan jawaban apa-apa Kehendak hanya datang Ia tak pernah pulang Hingga satu ketika waktu membuka Setiap rahasia dari lagumu Atau mungkin juga angin Bertengger di pepohonan...