Langsung ke konten utama

Denting Jam Dinding | Sebuah Antologi Puisi Penuh Gejolak

Menunggangi Waktu Untuk Menulis Kisah.

Assalamualaikum wr. wb. 
Apa kabar para pembaca dunia kata? Semoga semua sehat ya. Tidak bosan-bosannya kita saling mengingatkan untuk terus stay at home, work from home, and learn from home.
Tentu membosankan bukan? Ya, itu juga saya rasakan, tapi itulah cara agar kita bisa terhindar dari wabah yang sedang melanda. 
Oke, kita masuk ke pembahasan hari ini. kali ini saya akan mengulas buku karya saya sendiri yang berjudul Denting Jam Dinding. Buku ini merupakan buku pertama saya dalam 3 tahun karir menulis saya yang telah saya mulai sejak 2017 ketika pertama kali belajar menulis. 
Buku ini terdiri dari 56 puisi yang ditulis dari tahun 2017 sampai 2018. Ada 11 puisi yang saya tulis di tahun 2017, di antaranya : Likuan Hati, Sebuah Sajak Peraduan, Akulah Pujangga, Langit Berpeluh Menopang Sejuknya Awan, Sajak Musim Kemarau, Detik Kehampaan, Sendu 1, Sendu 2, Di Atas Tanah Surga, Di Atas Kaki Senjamu. Dari lebih dari 30-an puisi bertahunkan 2017 hanya ada 11 yang saya pilih, tentu ini merupakan pertimbangan yang berat mengingat puisi di tahun itu mempunyai arti yang dalam bagi hidup saya, namun karena menyadari banyaknya kekurangan di sana, maka saya memutuskan untuk memilih hanya sebelas.
Selanjutnya dari 56 puisi di buku itu ada beberapa yang saya dedikasikan dan persembahkan kepada seseorang, atau orang-orang atau sesuatu yang bagi saya pantas untuk saya berikan persembahan. Puisi-puisi itu terkumpul pada Sajak-Sajak Persembahan. Ada juga puisii yang saya tulis untuk beberapa orang yang secara tidak langsung membuat saya terinspirasi untuk menuliskan puisi untuk mereka.
Lanjut ke pembahasan berikutnya, mengenai pemilihan judul. Dalam buku ini, sama sekali tidak ada puisi berjudul Denting Jam Dinding, yang ada hanya sebuah puisi berjudul Jam Dinding yang menceritakan mengenai seseorang yang bertarung dengan waktu untuk mencari arti hidup. Dan dari sanalah judul ini terbentuk sebagai implementasi yang sesuai dengan kebanyakan tema dan topik yang saya angkat di puisi-puisi saya. Kebanyakan menceritakan mengenai perjalanan hidup, mengupas masa lalu, menerawang masa depan, seputar itu-itu saja. Lebih dari itu saya ingin menyampaikan pesan tersirat kepada pembaca puisi-puisi saya supaya lebih menghargai waktu yang digambarkan sebagai jam, agar tak lagi ada penyesalan di masa depan.
Jadi itu saja yang saya bahas, kalau penasaran bagaimana puisi-puisi itu bekerja di hati dan pikiran kalian silahkan komentar di bawah, mengenai keluh kesah kalian, nantinya akan saya post puisi yang mungkin bisa mewakili perasaan teman-teman. Dan kalau kalian mau memesannya silakan hubungi saya langsung media sosial. Fb : Imam Imron Khoironi ; Ig: @ronny.imam07.
Sekian dari saya, dan terima kasih atas partisipasi teman-teman, tetap jaga kesehatan dan jangan lupa baca puisi. 
#DirumahAja

Komentar

Populer

Puisi -puisi Imam Khoironi di Radar Malang

Edisi Minggu, 7 Juli 2019 Menunggu Kepulangan Ayah hari sudah hampir penuh dengan peluh dan lelah membasahi tiap-tiap doaku, saat melangkah menuju surau yang jaraknya melaju ke ujung kesunyian dan kau pun belum juga ingat waktu dan masih mencangkuli ladang citaku setelah matahari mengucapkan sampai jumpa dengan pepohonan dan bulan menyampaikan selamat jalan pada dunia yang ramai di desa kau baru ingat kalau rumah ini punya dunianya sendiri dan juga butuh apimu Lampung, Juni 2019 Menunggu Ibu Pulang tak seperti waktu yang biasa mengalir di sela-sela jemarimu kepergianmu yang berselamat pagi pada embun itu tak pernah mendapat sambutan cahaya pagi lembar demi lembar rindu terus menumpuk, tumbuh dari daun-daun kasihmu yang perlahan gugur di taman surga waktu yang tak kunjung menemui buntu sedangkan kepulanganmu selalu kutunggu di taman yang embun itu menetes dari bunga askh yang tak bisa mengharumi rumah kita Lampung, ...

Puisi Imam Khoironi | Bali Pos

Sumpah Seorang Pemuda Kepada Ibunya Ibu. Aku bersumpah demi yang lebih tinggi Dari bendera dan   apa saja Tanahmu, akan kujadikan tempat kuburku Meredam panas darahku Ibu. Aku bersumpah demi penguasa kehendak Dan kehendak itu sendiri Nasibku biar jadi misteri Semoga menjadi jati diri Ibu. Aku bersumpah demi penyair paling merdeka Dan paling berkuasa di jaga raya Puisi ini kutulis tanpa bahasa apa-apa Kecuali ini bahasamu, Ibu. Way Halim, 28 Oktober 2019 Menggambar Pohon Bagi kami: Yang membalut napas dengan debu kering tanah lapang Retak dan merekah seperti bunga di pertengahan musim semi Serta tidak lupa mengantar doa menuju langit melalui lampion-lampion Juga mantra-mantra yang tak lagi kudus Mencari jalan setapak untuk menemui roh Yang coba menembus langit membincangkan Pengadilan dunia pada Tuhan Ketahuilah: Akar-akar rumput sudah menembus batu Dan pohon dengan daun-daun hijau hanya ada Pada buku mewarnai ...

Puisi Imam Khoironi_Bangka Pos Edisi 8 September 2019

Mendengarkan Ricik air terbenam di wadah-wadah mendung Suaranya serupa semilir angin Menepuk daun jati yang gugur Di muka kemarau Takdir memelukku erat Hingga biduk yang kunanti tiba Aku hanya mendengarkan suara gerimis Lampung, Juli 2019 Senandung Maka beri tahu aku Ihwal lagu itu Di kalbumu senyap saja Tampak tubuhmu tak lagi menyanyi Sampai senja menelan apa saja Yang berderap di muka kota Aku tak lagi mendengar angin Yang dahulu bersemayam di lagumu Lampung, Juli 2019 Angin dan Pohon /I/ Namun sampai bila juga Hatiku akan menjemput keniscayaan Di dalam ruh yang bertebaran Kutahu angin membawa namamu Bayangmu pasti kerlip bintang, Atau teka-teki tentang pelangi Akankah ia muncul bersama gerimis Yang melambai pada berkas cahaya? /II/ Lalu sampailah kita Tanpa pertanyaan dan jawaban apa-apa Kehendak hanya datang Ia tak pernah pulang Hingga satu ketika waktu membuka Setiap rahasia dari lagumu Atau mungkin juga angin Bertengger di pepohonan...