Langsung ke konten utama

Kita Perlu Transit Meski Sejenak: Resensi Buku "Transit Urban Stories"

 Seno Gumira Ajidarma kembali ke mode "banal"-nya. Pemaknaan subteks dari yang liar dibutuhkan dalam pembacaan buku Transit Urban Stories ini. Cerita-cerita pendek yang fasih dalam menerjemahkan kegelisahan kita terhadap hal-hal yang tidak dapat dibayangkan meski dalam kesan sepintas dan tidak berulan-ulang.

Seperti biasanya, SGA tampil dengan kepiawaiannya dalam menceritakan kegelisahan-kegelisahan yang liar dengan dibungkus kisah imajinatif yang abstrak. Dalam buku Transit ini SGA mengusung tema urban yang percaya atau tidak ditulis dalam pengembaraannya ke banyak tempat. Setidaknya begitulah yang tertulis pada titimangsa cerita-ceritanya. Kisah tentang cinta, kemanusiaan, bahkan agama dikembangkan dengan bumbu surealitas dan sedikit satire.

Mungkin tulisan dalam buku ini akan resisten bagi mereka yang anti terhadap hal-hal fulgar dan terkadang agak “kotor”. Namun buku ini tidak hanya menjual itu, buku ini mempunyai sisi romantisme dalam bercerita tentang keindahan dan kekuatan cinta. Meskipun pada dasarnya disampaikan dengan cara yang agak nakal, buku ini masih bisa dinikmati golongan pembaca melankoli yang lebih suka menikmati realitas dalam sebuah cerita.

Buku ini terdiri dari 17 cerita dan ditulis dalam rentang waktu 16 tahun sejak 2003 sampai 2019. Bagi saya yang mengenal SGA dari “Pelajaran Mengarang”, “Gerobak”, ataupun “Cinta di Atas Perahu Badik” punya ekspektasi yang cukup ‘rendah’ untuk hal yang sureal seperti Transit ini. Dia hanya bercerita, murni hanya bercerita, tak ada tokoh yang sedang ia manfaatkan untuk menyampaikan cerita karangannya. Dia benar-benar ingin bercerita, hanya bercerita.

Bertolak belakang dengan ketiga cerpen yang telah disebutkan di atas, cerita dalam buku ini bukan hanya beda, namun aneh dalam perspektif saya sebagai pembacanya. Alasannya bukan dari gaya bercerita atau tema yang diusung namun ketabuan yang berani serta unsur kekerasan yang tidak difilter dengan bahasa yang nyaman. Seperti yang telah saya katakan di awal. Itulah kesan pertama ketika saya mulai membaca buku ini. Saya tidak tahu mengapa dia menaruh ‘bintangnya’ di awal, mengajak kita berkeliling dengan cara yang sangat kasar. Penilaian itu berangsur membaik ketika membaca cerita kedua, ketiga dan seterusnya sampai peristiwa transit yang diceritakan dengan kesan singkat namun tetap membekas.

Bagi saya buku ini penuh kejutan, selain karena ini adalah pertama kalinya saya membaca cerita bertema urban. Kejutan lainnya hadir ketika segala hal dibahas di sini. Cerita yang disajikan penuh dengan satire menyentuh ke semua lini. Dan saya rasa buku ini tidak cocok bagi mereka yang baperan, buku ini adalah simulasi kritik yang fulgar namun tetap dalam koridor yang aman.

Selain itu SGA hanya murni bercerita tanpa membebani pesan terselubung pada tokohnya yang tidak ada. Ini membuktikan bahwa cerita yang bagus tidak mewajibkan penulisnya membangun karakter yang kuat. Cukup dengan sepintas watak didukung dengan alur yang terukur dan terkonsep sebuah cerita dapat diselesaikan tanpa meninggalkan lubang yang dalam. Dan karena itu pula, cerita-cerita dalam buku ini mempunyai daya tarik tersendiri. Karakter yang mungkin tidak didapat dari cerita-cerita pendek yang lain.

Saya percaya bahwa buku ini bukanlah buku yang cocok untuk dijadikan acuan dalam menulis cerpen, tetapi membacanya akan tetap menjadi pengalaman yang berharga. Buku ini benar-benar memberikan sudut pandang yang berbeda dalam menulis cerita. Dan bagi saya buku ini bukan yang terbaik dari SGA, namun tetap worth it untuk dibaca. Bagaimanapun cerita yang disajikan tetap menghibur dan memberikan kesan. Setidaknya bagi kita yang tidak pernah mengalami hal-hal yang diceritakannya di dunia nyata. Bahkan untuk membayangkannya saja sulit. Karena sesekali kita perlu Transit pada hal yang mungkin asing dalam perjalanan kita yang jauh. Bahkan dalam tujuan kita yang pendek, transit diperlukan untuk mengenalkan diri pada hal yang berbeda.

Komentar

Populer

Puisi -puisi Imam Khoironi di Radar Malang

Edisi Minggu, 7 Juli 2019 Menunggu Kepulangan Ayah hari sudah hampir penuh dengan peluh dan lelah membasahi tiap-tiap doaku, saat melangkah menuju surau yang jaraknya melaju ke ujung kesunyian dan kau pun belum juga ingat waktu dan masih mencangkuli ladang citaku setelah matahari mengucapkan sampai jumpa dengan pepohonan dan bulan menyampaikan selamat jalan pada dunia yang ramai di desa kau baru ingat kalau rumah ini punya dunianya sendiri dan juga butuh apimu Lampung, Juni 2019 Menunggu Ibu Pulang tak seperti waktu yang biasa mengalir di sela-sela jemarimu kepergianmu yang berselamat pagi pada embun itu tak pernah mendapat sambutan cahaya pagi lembar demi lembar rindu terus menumpuk, tumbuh dari daun-daun kasihmu yang perlahan gugur di taman surga waktu yang tak kunjung menemui buntu sedangkan kepulanganmu selalu kutunggu di taman yang embun itu menetes dari bunga askh yang tak bisa mengharumi rumah kita Lampung, ...

Puisi Imam Khoironi | Bali Pos

Sumpah Seorang Pemuda Kepada Ibunya Ibu. Aku bersumpah demi yang lebih tinggi Dari bendera dan   apa saja Tanahmu, akan kujadikan tempat kuburku Meredam panas darahku Ibu. Aku bersumpah demi penguasa kehendak Dan kehendak itu sendiri Nasibku biar jadi misteri Semoga menjadi jati diri Ibu. Aku bersumpah demi penyair paling merdeka Dan paling berkuasa di jaga raya Puisi ini kutulis tanpa bahasa apa-apa Kecuali ini bahasamu, Ibu. Way Halim, 28 Oktober 2019 Menggambar Pohon Bagi kami: Yang membalut napas dengan debu kering tanah lapang Retak dan merekah seperti bunga di pertengahan musim semi Serta tidak lupa mengantar doa menuju langit melalui lampion-lampion Juga mantra-mantra yang tak lagi kudus Mencari jalan setapak untuk menemui roh Yang coba menembus langit membincangkan Pengadilan dunia pada Tuhan Ketahuilah: Akar-akar rumput sudah menembus batu Dan pohon dengan daun-daun hijau hanya ada Pada buku mewarnai ...

Puisi Imam Khoironi_Bangka Pos Edisi 8 September 2019

Mendengarkan Ricik air terbenam di wadah-wadah mendung Suaranya serupa semilir angin Menepuk daun jati yang gugur Di muka kemarau Takdir memelukku erat Hingga biduk yang kunanti tiba Aku hanya mendengarkan suara gerimis Lampung, Juli 2019 Senandung Maka beri tahu aku Ihwal lagu itu Di kalbumu senyap saja Tampak tubuhmu tak lagi menyanyi Sampai senja menelan apa saja Yang berderap di muka kota Aku tak lagi mendengar angin Yang dahulu bersemayam di lagumu Lampung, Juli 2019 Angin dan Pohon /I/ Namun sampai bila juga Hatiku akan menjemput keniscayaan Di dalam ruh yang bertebaran Kutahu angin membawa namamu Bayangmu pasti kerlip bintang, Atau teka-teki tentang pelangi Akankah ia muncul bersama gerimis Yang melambai pada berkas cahaya? /II/ Lalu sampailah kita Tanpa pertanyaan dan jawaban apa-apa Kehendak hanya datang Ia tak pernah pulang Hingga satu ketika waktu membuka Setiap rahasia dari lagumu Atau mungkin juga angin Bertengger di pepohonan...