Langsung ke konten utama

Lomba Bakiak

Nyaris tak ada yang menarik pada minggu pertama bulan Agustus. Minggu ini saya hanya melakukan rutinitas seperti biasa sebagai guru honorer dan marbot masjid. Hanya ada dua hal di luar kebiasaan yang terjadi selama satu minggu ke belakang. Salah satunya menarik salah satunya lagi tidak terlalu, meski itu adalah kali pertama.

Eh, sebelum lanjut, jika kamu baca tulisan ini jangan berekspektasi kalau akan ada kuot-kuot romantis, penuh motivasi atau melankolis, ya. Saya sedang tidak menulis puisi atau karya sastra tingkat kabupaten. Ini tulisan random saja. Mau dilanjut monggo, nggak dilanjut yo jangan to, udah susah-susah nulis masa gak dibaca.

Oke lanjut. Pertama, untuk pertama kalinya saya jadi pembina upacara di sekolah pertama tempat saya mengajar. Ini bukan pengalaman satu-satunya menjadi pembina upacara. Saya sudah pernah merasakannya ketika Madrasah Tsanawiyah.

Ketika itu saya adalah Pemimpin Regu Utama (Pratama – bukan Andika) Pramuka. Setiap Minggu ketika upacara pembukaan latihan pramuka saya harus menjadi Pembina Upacara karena saat itu ada kekosongan Kakak Pembina. Ketidakhadirannya memaksa saya mengambil alih tugas itu.

Bagi saya pengalaman menjadi pembina upacara di sekolah tidak terlalu istimewa. Sebab saya hanya menerima laporan dari anak berusia 10 tahun, menerima hormat dan memimpin prosesi “mengheningkan cipta”. Ya, tak ada prosesi yang terlalu sakral pada upacara penurunan bendera oleh anak-anak yang masih belajar berdiri.

Pengalaman menjadi pembina upacara latihan pramuka jauh lebih mengesankan. Namun, itu bukan berarti saya main-main ketika melaksanakan prosesi upacara itu. Saya masih memegang teguh prinsip, tak ada gerakan tambahan ketika sudah “siap gerak”. Saya masih tetap hormat pada bendera dengan tangan di pelipis dan telapak tangan rata serta siku yang sejajar bahu. Anjayy aing anak pramuka.

Lanjut, ya. Sudah cukup nostalgianya. Gak penting cerita itu, gak ada yang inget juga. Sekarang kita beralih ke aktivitas menarik lainnya dari minggu pertama bulan Agustus. Rabu, 6 Agustus saya dan kawan-kawan guru SD di Sukarame, Bandar Lampung mengikuti lomba bakiak di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bandar Lampung dalam rangka HUT ke-80 RI.

Bagi kalian mungkin tidak menarik, dan bagi saya juga sama sih, kurang menarik. Namun, ada dua hal yang membuat saya cukup gembira dalam kegiatan ini. Pertama, saya diberikan izin untuk tidak masuk sekolah pada hari Selasa dan Rabu oleh Kepala Sekolah, asyikkk. Kedua, ini pengalaman pertama saya main bakiak seumur hidup. Meskipun pada akhirnya saya memilih untuk jadi cadangan dan tidak ikut bertanding.

Bisa ditebak hasilnya, karena tidak ada saya tim kami kalah di babak pertama. Kalau saya ikut mungkin kami kalah dari sebelum bermain. Saya tidak kecewa, tapi kawan-kawan yang lain tampak kecewa, sebabnya adalah tim kami sempat terjatuh dan kesulitan bangkit. Ya namanya juga hidup, kadang ketika kita jatuh, kita perlu menikmati proses jatuh itu, belajar dari kesalahan kemudian bangkit dan lari lebih cepat. Namun, dalam lomba bakiak, menikmati proses jatuh artinya kamu ketinggalan, kalaupun sudah bangkit kamu tidak bisa berlari, kamu hanya bisa berjalan dengan penuh keyakinan kalau kamu tidak akan jatuh lagi.

Begitulah, namanya juga lomba, ada menang ada kalah. Padahal ketika latihan, kami semua yakin pasti menang. Kenyataan berkata lain, takdir bicara berbeda, Tuhan sudah menentukan siapa pemenangnya, tentu saja bukan tim saya. Yang nyesek itu kalau sudah menang di awal pas waktu menjelang final kalah. Juara tidak, capai sudah pasti.

Kekalahan itu membuat saya punya banyak waktu menonton cabang lomba lain. Ternyata tim satu kecamatan kami juga kalah di cabang Volly. Itu membuat saya cukup kecewa. Harusnya saya ikut main volly saja. Saya bisa jadi libero atau setter, passing-passing saya bagus dulu waktu SMA. Namun, sekali lagi, manusia hanya bisa kecewa, takdir tak bisa diubah. Akhirnya saya pulang membawa uang Rp25000. Uang itu dibagikan sebagai kompensasi karena sudah mau berpartisipasi mewakili kecamatan Sukarame. Lumayanlah bisa untuk isi bensin sama beli bakso malang.

Udah gitu doang, selebihnya hari-hari saya berjalan lancar, sedikit tertekan tapi tetap santai, agak bingung tapi masih bisa pegangan, dan tentu saja masih bisa nulis ini artinya masih waras, agak gila dikit sih cuman lebih gila orang yang baca sampai tuntas tulisan ini. Kek, ngapain, njir? Lu kurang kerjaan, yak? Aneh bet ada orang mau baca tulisan random orang yang ngaku-ngaku penulis, tapi gak ada yang tau tulisannya. 

Lebih aneh lagi, karena kalian orang Indonesia yang wapresnya aja gak suka baca. Upss, jangan culik aku mas Wapres plisss. Culik saja buku-bukuku, ehh beli maksudnya. Gak dibaca gak papa kok, serius, yang penting saya dapet duit. Udah yak, udah mulai ngaco ini. Sampai jumpa minggu depan. See you, adios, chao.



Komentar

Populer

Puisi -puisi Imam Khoironi di Radar Malang

Edisi Minggu, 7 Juli 2019 Menunggu Kepulangan Ayah hari sudah hampir penuh dengan peluh dan lelah membasahi tiap-tiap doaku, saat melangkah menuju surau yang jaraknya melaju ke ujung kesunyian dan kau pun belum juga ingat waktu dan masih mencangkuli ladang citaku setelah matahari mengucapkan sampai jumpa dengan pepohonan dan bulan menyampaikan selamat jalan pada dunia yang ramai di desa kau baru ingat kalau rumah ini punya dunianya sendiri dan juga butuh apimu Lampung, Juni 2019 Menunggu Ibu Pulang tak seperti waktu yang biasa mengalir di sela-sela jemarimu kepergianmu yang berselamat pagi pada embun itu tak pernah mendapat sambutan cahaya pagi lembar demi lembar rindu terus menumpuk, tumbuh dari daun-daun kasihmu yang perlahan gugur di taman surga waktu yang tak kunjung menemui buntu sedangkan kepulanganmu selalu kutunggu di taman yang embun itu menetes dari bunga askh yang tak bisa mengharumi rumah kita Lampung, ...

Puisi Imam Khoironi | Bali Pos

Sumpah Seorang Pemuda Kepada Ibunya Ibu. Aku bersumpah demi yang lebih tinggi Dari bendera dan   apa saja Tanahmu, akan kujadikan tempat kuburku Meredam panas darahku Ibu. Aku bersumpah demi penguasa kehendak Dan kehendak itu sendiri Nasibku biar jadi misteri Semoga menjadi jati diri Ibu. Aku bersumpah demi penyair paling merdeka Dan paling berkuasa di jaga raya Puisi ini kutulis tanpa bahasa apa-apa Kecuali ini bahasamu, Ibu. Way Halim, 28 Oktober 2019 Menggambar Pohon Bagi kami: Yang membalut napas dengan debu kering tanah lapang Retak dan merekah seperti bunga di pertengahan musim semi Serta tidak lupa mengantar doa menuju langit melalui lampion-lampion Juga mantra-mantra yang tak lagi kudus Mencari jalan setapak untuk menemui roh Yang coba menembus langit membincangkan Pengadilan dunia pada Tuhan Ketahuilah: Akar-akar rumput sudah menembus batu Dan pohon dengan daun-daun hijau hanya ada Pada buku mewarnai ...

Puisi Imam Khoironi_Bangka Pos Edisi 8 September 2019

Mendengarkan Ricik air terbenam di wadah-wadah mendung Suaranya serupa semilir angin Menepuk daun jati yang gugur Di muka kemarau Takdir memelukku erat Hingga biduk yang kunanti tiba Aku hanya mendengarkan suara gerimis Lampung, Juli 2019 Senandung Maka beri tahu aku Ihwal lagu itu Di kalbumu senyap saja Tampak tubuhmu tak lagi menyanyi Sampai senja menelan apa saja Yang berderap di muka kota Aku tak lagi mendengar angin Yang dahulu bersemayam di lagumu Lampung, Juli 2019 Angin dan Pohon /I/ Namun sampai bila juga Hatiku akan menjemput keniscayaan Di dalam ruh yang bertebaran Kutahu angin membawa namamu Bayangmu pasti kerlip bintang, Atau teka-teki tentang pelangi Akankah ia muncul bersama gerimis Yang melambai pada berkas cahaya? /II/ Lalu sampailah kita Tanpa pertanyaan dan jawaban apa-apa Kehendak hanya datang Ia tak pernah pulang Hingga satu ketika waktu membuka Setiap rahasia dari lagumu Atau mungkin juga angin Bertengger di pepohonan...