Langsung ke konten utama

Hujan Musim Panas




Tak ada musim hujan yang kekurangan air, tak ada musim panas yang kebanjiran. Namun, akankah musim panas kali ini membawa cerita baru, seperti mimpimu beberapa tahun silam yang kau ceritakan padaku. Aku membawa ceritamu ini ke mana-mana. Ke atas kasur, ke malam, ke subuh, ke mimpiku sendiri. Aku tak paham maksud dari hujan musim panas yang kau selalu rindukan itu.

***

 

Pagi ini kau memberi tahuku sesuatu yang menurutmu sangat penting, namun bagiku nampak biasa saja. Kau terbiasa mendramatisir sesuatu.

“Yan, menurut prakiraan cuaca hari ini akan turun hujan di Jakarta. Aku harap itu benar terjadi,” tulismu di pesan singkat itu.

“Semoga kamu senang hati, Sen,” balasku.

“Kok gitu?”

“Ya kalau nanti hujan kan kamu senang hati, to. Kamu kan sudah lama nggak ngibasin rambutmu di bawah guyuran hujan, yang katamu langit yang sedang menangis itu.”

“Nanti ke rumahku ya, Yan. Kita hujan-hujanan di taman depan rumahku.”

“Kalau hujan. Kalau langitnya nggak jadi nangis gimana?”

“Ya kita mainan air pake selang aja. Kita nostalgia masa kecil kita dulu.”

“Kamu inget aja waktu itu.”

“Iya dong, masa lalu kan untuk diingat bukan untuk dilupakan.”

Aku terdiam. Sejenak aku mengenang masa itu, masa saat aku sangat dekat dengan Senia. Tapi itu saat aku masih belum mengenal apa itu cinta yang biasa diartikan usiaku sekarang. Dulu kutahu cinta itu apa saja yang berhubungan dengan keceriaan.

Hari ini, cinta itu kompleks, kata Senia. Butuh bahagia, butuh air mata, butuh ini, butuh itu. Tapi bagi Senia, tak ada cinta yang lebih besar dari hujan musim panas. Dia datang saat orang-orang benar-benar butuh dan pasti akan berbahagia jika ia datang.

Dia tidak suka main air sebenarnya. Tapi ini bulan Agustus katanya, panas. Dia sangat suka main air waktu musim panas itu datang. Meski setelah hujan-hujanan dia pasti demam. Dan aku tak suka saat ia demam, aku ingin sekali memaki langit, tapi langit kan punya Tuhan, oleh karena itu aku urung.

“Yan, langit nampaknya setuju dengan prakiraan cuaca yang kulihat di tv.”

“Mungkin, tapi semoga angin nggak lagi terbang di atas ya.”

“Bisa aja kamu. Sudahlah, kamu ke sini. Orang rumah pada sibuk sendiri. Aku gak ada temen ngobrol.”

Aku tak menjawab. Kepalaku menengadah ke langit. Berharap benar-benar ada hujan hari ini.

“Tuhan, izinkan langitmu hari ini menumpahkan segala rasa yang ia punya lewat air matanya, tapi kalau bisa jangan deras-deras ya. Nanti Senia-Mu sakit.”

Aku bergegas menuju rumah Senia. Sampai di sana aku disambut pak Harto ayah Senia yang sedang memotong tanaman pagar. Dia selalu senang saat aku datang. Aku dan keluarganya cukup akrab karena dulu mereka tetanggaku, hanya saja ketidak beranianku menyatakan rasa ke Senia, membuat Senia menjadi kekasih orang lain. Aku tak tahu sekarang. Rencananya aku akan meyatakannya saat hujan nanti.

“Assalamualaikum, Pak.”

“Waalaikumussalam, Yan. Tumben kamu ke rumah Senia. Pasti Senia yang nyuruh ya.”

“Hehe, iya, Pak. Apa kabar bapak sekeluarga?”

“Alhamdulillah baik. Apa kabar keluargamu di seberang?”

“Alhamdulillah baik juga, Pak. E, Senianya mana, Pak?”

“Ada di dalam, masuk saja.”

***

 

“Kamu sama Randy, masih?”

“Kamu kok nanya gitu sih, Yan.”

“Ya memastikan aja, siapa tahu kamu sudah ada yang baru. Kamu kan banyak yang antriin.”

“Hah. Sekarang ini masih, nggak tahu besok. Dia entah ke mana. Nggak ada kabar dari minggu lalu.”

“Oh.”

“Eh, kayaknya di luar gerimis tuh. Kita keluar yuk,” ajak Senia sambil menarik tanganku yang mulai didera keringat dingin.

Hujan turun dengan ritme yang apik, beberapa menit begitu deras selang waktu berubah ringan. Aku mulai bermain air dengan Senia yang tidak menghiraukan teriakan ibunya yang cemas kalau-kalau setelah ini Senia demam. Tapi pak Harto meyakinkan istrinya itu kalau tidak akan terjadi apa-apa.

Di sela-sela kebahagiaannya itu, aku menggenggam tangannya dan menatap kedua matanya, dalam sekali. Dengan hati yang teguh dengan seluruh keyakinan untuk menyatakan cinta bibirku mulai bergerak.

“Sen, kamu cantik kalau sedang main air. Aku jatuh cinta jadinya,”

“Kamu ngomong apa sih, Yan. Kita main bola yuk.”

“Sen, aku serius. Aku jatuh cinta sama kamu, sejak pertama kamu suka hujan-hujanan.”

“Maksudmu apa sih, Yan. Aku nggak paham.”

“Aku sayang kamu, Sen. Aku mencintaimu, sejak lama. Kali ini aku jujur dan tak mengharap apa-apa.”

“Kamu bercanda ya, Yan. Tuh kan hujannya berhenti, kamu sih nggak jelas banget.”

***

 

Hujan pun berhenti dan aku terbangun dari tidur karena dikejutkan oleh suara petir yang menyambar salah satu tiang listrik dan membuat listrik mati. Dan aku baru sadar jika aku sudah melewatkan waktuku untuk menemui Senia dan bermain hujan musim panas dengannya hari ini. Tapi, setidaknya aku belum benar-benar ditolak seperti di mimpiku itu.

Hujan musim panas yang diceritakan Senia waktu itu benar-benar merasuk dalam mimpiku. Dan aku juga mulai suka dengan hal itu. Satu alasan, karena aku akan melihatmu tertawa, Senia.

 

Lampung, Juli 2019

Imam Khoironi

Terbit di Kabar Madura pada Januari 2020

Komentar

Populer

Puisi -puisi Imam Khoironi di Radar Malang

Edisi Minggu, 7 Juli 2019 Menunggu Kepulangan Ayah hari sudah hampir penuh dengan peluh dan lelah membasahi tiap-tiap doaku, saat melangkah menuju surau yang jaraknya melaju ke ujung kesunyian dan kau pun belum juga ingat waktu dan masih mencangkuli ladang citaku setelah matahari mengucapkan sampai jumpa dengan pepohonan dan bulan menyampaikan selamat jalan pada dunia yang ramai di desa kau baru ingat kalau rumah ini punya dunianya sendiri dan juga butuh apimu Lampung, Juni 2019 Menunggu Ibu Pulang tak seperti waktu yang biasa mengalir di sela-sela jemarimu kepergianmu yang berselamat pagi pada embun itu tak pernah mendapat sambutan cahaya pagi lembar demi lembar rindu terus menumpuk, tumbuh dari daun-daun kasihmu yang perlahan gugur di taman surga waktu yang tak kunjung menemui buntu sedangkan kepulanganmu selalu kutunggu di taman yang embun itu menetes dari bunga askh yang tak bisa mengharumi rumah kita Lampung, ...

Puisi Imam Khoironi | Bali Pos

Sumpah Seorang Pemuda Kepada Ibunya Ibu. Aku bersumpah demi yang lebih tinggi Dari bendera dan   apa saja Tanahmu, akan kujadikan tempat kuburku Meredam panas darahku Ibu. Aku bersumpah demi penguasa kehendak Dan kehendak itu sendiri Nasibku biar jadi misteri Semoga menjadi jati diri Ibu. Aku bersumpah demi penyair paling merdeka Dan paling berkuasa di jaga raya Puisi ini kutulis tanpa bahasa apa-apa Kecuali ini bahasamu, Ibu. Way Halim, 28 Oktober 2019 Menggambar Pohon Bagi kami: Yang membalut napas dengan debu kering tanah lapang Retak dan merekah seperti bunga di pertengahan musim semi Serta tidak lupa mengantar doa menuju langit melalui lampion-lampion Juga mantra-mantra yang tak lagi kudus Mencari jalan setapak untuk menemui roh Yang coba menembus langit membincangkan Pengadilan dunia pada Tuhan Ketahuilah: Akar-akar rumput sudah menembus batu Dan pohon dengan daun-daun hijau hanya ada Pada buku mewarnai ...

Puisi Imam Khoironi_Bangka Pos Edisi 8 September 2019

Mendengarkan Ricik air terbenam di wadah-wadah mendung Suaranya serupa semilir angin Menepuk daun jati yang gugur Di muka kemarau Takdir memelukku erat Hingga biduk yang kunanti tiba Aku hanya mendengarkan suara gerimis Lampung, Juli 2019 Senandung Maka beri tahu aku Ihwal lagu itu Di kalbumu senyap saja Tampak tubuhmu tak lagi menyanyi Sampai senja menelan apa saja Yang berderap di muka kota Aku tak lagi mendengar angin Yang dahulu bersemayam di lagumu Lampung, Juli 2019 Angin dan Pohon /I/ Namun sampai bila juga Hatiku akan menjemput keniscayaan Di dalam ruh yang bertebaran Kutahu angin membawa namamu Bayangmu pasti kerlip bintang, Atau teka-teki tentang pelangi Akankah ia muncul bersama gerimis Yang melambai pada berkas cahaya? /II/ Lalu sampailah kita Tanpa pertanyaan dan jawaban apa-apa Kehendak hanya datang Ia tak pernah pulang Hingga satu ketika waktu membuka Setiap rahasia dari lagumu Atau mungkin juga angin Bertengger di pepohonan...